--> January 2014 | .::All About Education::.

25 January 2014

Cara Mengatasi Anak yang Suka Mengganggu atau Membuat Onar

Cara Mengatasi Anak yang Suka Mengganggu atau Membuat Onar

 
     Hal yang lumrah bagi anak-anak jika mereka suka jahil atau iseng. Tapi tak jarang ada beberapa anak yang justru suka mengganggu atau membuat onar hingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain.

Menurut penulis dan pendiri Happy Family, dr Justin Coulson, banyak orang tua yang sengaja menghukum anaknya di depan umum ketika membuat masalah agar mereka meminta maaf. Bahkan, hukuman tersebut cenderung mempermalukan si anak.

"Cara seperti itu memang bisa membuat anak meminta maaf, tapi sayangnya mereka jadi tidak memahami bahwa yang mereka lakukan yaitu mengganggu orang lain adalah sesuatu yang salah," kata dr Coulson, seperti dikutip dari Essential Kids, Kamis (2/1/2014). Nah, berikut ini cara-cara yang bisa dilakukan orang tua untuk mencegah si anak jadi seorang pengganggu:

1. Ajarkan disiplin, bukan menghukum
Menggunakan kekerasan sebagai bentuk kedisiplinan dinilai dr Coulson tidak efektif. Menurutnya, lebih baik ajarkan nilai-nilai apa yang membuat perilaku mengganggu itu salah. Sebab, dengan menghukum justru akan merusak kepercayaan serta hubungan anak dengan orang tua.

2. Menjadi model bagi anak
Ketika mengetahui anak Anda adalah seorang pengganggu, jangan balik menjadi 'pengganggu' bagi anak, dalam artian Anda langsung marah dan menyakitinya baik dengan kata-kata atau tindakan. Sebaiknya, ajak anak duduk berdua lalu ajak bicara mengapa mereka sampai melakukan perbuatan itu.

3. Mendorong empati
Ajak anak untuk berempati terhadap apa yang dirasakan orang lain ketika mereka mengganggunya. Misalnya dengan ajukan pertanyaan 'bagaimana rasanya jika kamu yang diganggu?' atau 'bagaimana perasaan orang tuanya ketika tahu anak yang dicintainya sudah kamu ganggu?'.

"Dengan mengajak mereka berempati, anak jadi tahu bagaimana perspektif orang lain ketika mereka mengganggunya. Memang bagi anak usia lima tahun ke atas hal ini lebih mudah dilakukan ketimbang pada remaja yang cenderung menolaknya," papar dr Coulson.

4. Minta bantuan
Penting untuk meminta bantuan misalnya dari keluarga, pihak sekolah, atau justru dari pihak korban. Menurut dr Coulson, riset mengatakan jika kita menghabiskan waktu dengan orang yang sudah kita intimidasi, maka kita bisa merasakan apa yang mereka rasakan sehingga lebih mudah untuk berhenti mengintimidasinya.

5. Jangan menyerah
"Orang tua adalah sosok yang paling berpengaruh dalam kehidupan anak maka ketika anak masih suka mengganggu orang lain, orang tua harus gigih mencari bantuan dan terus berusaha. Suatu saat anak membutuhkan kasih sayang Anda, saat itulah rasa cinta dan kasih sayang Anda paling dibutuhkan dan sangat berharga bagi mereka," jelas dr Coulson.


Source: detik.com

22 January 2014

no image

Fase-Fase Pembelajaran Geometri van Hiele

       Menurut teori Pierre dan Van Hiele (Murtini, 1993) tingkat-tingkat pemikiran geometrik dan fase pembelajaran siswa berkembang atau maju menurut tingkat-tingkat sebagai berikut: 

Visual Gestalt-like melalui tingkat-tingkat sophisticated dari deskripsi, analisis, abstraksi dan bukti.
Teori ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:


  • Belajar adalah suatu proses yang diskontu.
  • Tingkat-tingkat itu berurutan dan berhirarki.
  • Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi dipahami secara ekplisit pada tingkat berikutnya.
  • Setiap tingkat mempunyai bahasanya sendiri.




Van Hiele mengemukakan bahwa kenaikan dari tingkat yang satu ke tingkat berikutnya tergantung sedikit pada kedewasaan biologis atau perkembangannya, dan tergantung lebih banyak kepada akibat pembelajarannya.
Fase-fase pembelajaran geometri
1.      Fase informasi
Pada awal tingkat ini, guru dan siswa menggunakan tanya jawab dan kegiatan tentang objek-objek yang dipelajari pada tahap berpikir siswa.
2.      Fase orientasi
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat telah disiapkan guru. Alat dan bahan dirancang menjadi tugas pendek sehingga dapat mendatangkan respon khusus.
3.      Fase eksplisitasi/penjelasan
Siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi.
4.      Fase orientasi bebas
Siswa memperoleh pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri, maupun dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
5.      Fase integrasi
Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Pada akhir Fase kelima ini siswa mencapai tahap berpikir yang baru. Siswa siap untuk mengulangi fase-fase belajar pada tahap sebelumnya.

14 January 2014

no image

Teknik Merumuskan Masalah Penelitian (2)

B. Perumusan Masalah Penulisan Karya Ilmiah / Penelitian


         Seringkali terjadi seorang peneliti mengalami kebingungan setelah sekian proses penelitian berjalan. Kebingungan itu diantara lain disebabkan oleh tidak adanya fokus yang jelas dari kasus fenomena atau permasalahan yang sesungguhnya hendak diteliti. Tidak sedikit seorang peneliti tidak mengetahui dengan persis permasalahan, hasil temuan dari peneliti yang telah dilaksanakan. Akibatnya tidak sedikit peneliti yang setelah diuji oleh penguji atau ketika ditanya oleh pemesannya mengalami kebingungan, tahu banyak masalah tetapi tidak mampu mendesain pengetahuan itu menjadi pengetahuan yang bermanfaat. Jujun S. Suriasumantri menyebut peneliti seperti ini (penelitian yang tidak focus) sebagai seorang bangunan, bukan seorang arsitek.

            Perumusan masalah merupakan langkah yang sangat penting bagi seorang peneliti. Masalah yang dirumuskan secara baik dan benar akan sangat membantu. Dari perumusan masalah tersebut, seorang peneliti akan diberitahu apa yang seharusnya mereka lakukan dalam penelitian semenjak pengkajian teori, perumusan hipotesis, pemilihan rancangan penelitian, penentuan peubah penelitian, pemilihan metode, dan alat serta pemilihan teknik analisis yang sesuai.
            Hal tersebut dapat terjadi karena semua aktivitas yang dilakukan peneliti dalam melaksanakan pada hakikatnya adalah untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian yang dirumuskan, oleh karena itu jika masalah telah dirumuskan dengan baik akan lebih mudah bagi peneliti untuk mencarikan jawabannya.
            Amir (2009:78-79) menyatakan bahwa, di dalam suatu penelitian masalah tersebut perlu dirinci dengan cara :
1)      Rumuskan masalah secara jelas, singkat, termasuk konsep-konsep yang digunakan.
2)      Masalah harus dibatasi, bagian mana yang digarap, mengapa bagian itu yang diambil.
3)      Gambarkan pentingnya masalah ;
(a)    Sumbangannya terhadap perkembangan ilmu,
(b)   Kegunaan praktis (bila ada),
(c)    Hubungan dengan penelitian lain, dan
(d)   Kegunaan yang lebih umum.
            Ada beberapa petunjuk umum yang perlu diikuti atau diperhatikan peneliti dalam merumuskan masalah penelitian, antara lain :
1)      Masalah penelitian harus dinyatakan dalam kalimat Tanya;
2)      Kalimat (kalimat Tanya) tersebut harus singkat, jelas, dan operasional;
3)      Inti masalah tampak jelas dan tidak merupakan pertanyaan yang membingungkan.
            Perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti, yang didasarkan pada pembatasan masalah. Rumusan masalah dinyatakan dengan kalimat pertanyaan.
            Namun disisi lain rumusan masalah sebenarnya juga dapat dirumuskan dalam kalimat pernyataan. Sebagai contoh rumusan masalah tentang penelitian yang berjudul “Kajian Kinerja Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) Di Lima Wilayah Contoh Pelaksanaan Program PMT-AS: Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan” yang disusun oleh Aswatini Raharto, Yulfita Raharjo dan Bayu Setiawan (1998:4) merumuskan masalah sebagai berikut:

PMT-AS yang baru berjalan satu tahun ini, masih terlalu dini untuk dilihat hasilnya. Akan tetapi konsep serta kinerja pelaksanaan program perlu terus dicermati dan dikembangkan dalam usaha mencari bentuk yang lebih tepat dalam penyelenggaraannya. salah satu perspektif yang perlu diketahui dan diakomodasi dalam kinerja penyelenggaraan PMT-AS, adalah tanggapan dari peserta yang terlibat langsung dengan program, khususnya ditingkat masyarakat. Dengan demikian tanggapan mereka, baik dalam bentuk aspirasi, keinginan, keperluannya, saran-saran, diharapkan menjadi masukan yang berguna sekali dalam penyempurnaan kinerja perencanaan, maupun pelaksanaan program termasuk didalamnya kelembagaan yang mengelola program. Hal ini mengingat PMT-AS adalah program dari atas, yang dirumuskan secara nasional, untuk diterapkan diseluruh wilayah Indonesia; sedangkan masyarakat kita mempunyai keragaman yang amat besar, baik dilihat dari segi tipe masyarakat, sosial budaya, perkembangan sosial-ekonomi dan dari segi aksesibilitas, yang masing-masing dapat mempengaruhi aplikasi PMT-AS.


            Contoh perumusan masalah lain yang berupa kalimat pernyataan (statement) seperti yang diunduh dari http://morningcamp.com/?p=143 misalnya:
1.      “Belum diketahui tentang gambaran fenomena secara khusus; atau belum diketahui diskripsi fenomena secara khusus”.
2.      Belum dapat dijelaskan tentang terjadinya fenomena; atau belum diketahui tentang eksplansi dari terjadinya fenomena”.
3.      “Belum diketahui derajat keberadaan fenomena pada situasi  dan kondisi tertentu.”
           
            Untuk dapat merumuskan masalah penelitian secara tajam, peneliti harus :
1)      Menguasai teori
2)      Banyak membaca
3)      Memiliki daya observasi yang jeli
4)      Mengetahui pendekatan apa yang digunakan dalam memecahkan masalah
5)      Pendekatan tergantung pada masalah penelitian.
            Adapun tujuan dari perumusan masalah adalah :
1)      Mencari sesuatu dalam kerangka pemuasan akademis seseorang.
2)      Memuaskan perhatian atau keingintahuan seseorang tentang hal-hal yang baru.
3)      Meletakkan dasar untuk memecahkan beberapa penemuan penelitian sebelumnya ataupun dasar untuk penelitian selanjutnya.
4)      Memenuhi keinginan sosial.
5)      Menyediakan sesuatu yang bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Amir. 2009. Dasar-dasar Penulisan Karya Ilmiah. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Aswatini Raharto, Yulfita Raharjo dan Bayu Setiawan. 1998. Kajian Kinerja Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) Di Lima Wilayah Contoh Pelaksanaan Program PMT-AS: Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan. Jakarta: Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
http://morningcamp.com/?p=143 diakses pada tanggal 04 Mei 2011.
http://sylvie.edublogs.org/2007/05/08/merumuskan-masalah-penelitian/ diakses pada tanggal 03 Mei 2011.